Senin, 18 November 2013

Tari Kreasi Baru Jawa Tengah

a) Tari Prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.
b) Tari Ronggeng
Asal : Jawa , Fungsi : Sebagai hiburan , Tema : Erotis , Pencipta : Endang Caturwati
Tarian ronggeng memang berbeda dengan tarian lainnya. Gerak tarian ronggeng lebih ekspresif bahkan mengarah ke eksotis.
Goyang, geol, gitek adalah ciri khas tarian ronggeng. Dengan ciri khas inilah seni ronggeng menjadi identik sebagai seni yang mampu membuat kaum lelaki bangkit libidonya, sehingga akhirnya citra seni ronggeng menjadi sangat jelek.
Tari ronggeng sebenarnya merupakan bagian dari upacara untuk meminta kesuburan tanah. Upacara ini dilakukan supaya hasil pertanian warga melimpah ruah. Karena terkait dengan kesuburan inilah, gerakan dalam tarian dengan penari laki-laki yang disebut bajidor ini, mirip gerakan orang yang sedang bercinta.
Pergeseran mulai terjadi di zaman kolonialis. Sejak era kolonial Portugis hingga Belanda dan Jepang, ronggeng dijadikan sebagai hiburan di daerah perkebunan. Tak hanya bagi pekerja perkebunan, Ronggeng merupakan hiburan bagi kaum penjajah saat itu. Walhasil, sejak saat itulah ronggeng tak lagi sekadar sebagai ritual adat. Sebagai hiburan, seni, ronggeng akhirnya lebih banyak bermuatan unsur erotis, mulai dari cara berpakaian penari, gaya tarinya, bahkan hingga perilaku di atas panggung yang lebih memancing birahi kaum adam.
c) Tari Kumbang
Tari ini menggambarkan sepasang kumbang (jantan dan betina) sedang mengisap sari bunga di taman, berterbangan ke sana ke mari sambil berkejar-kejaran. Kumbang jantan dan betina memadu kasih dengan suasana romantis di taman bunga. Penonton yang menyaksikan akan diajak berimajinasi dalam suasana romantis, bahwa antara laki dan perempuan.
d) Tari Wira Pertiwi
Tarian ini merupakan kreasi baru ciptaan Bagong Kussudiardjo yang menggambarkan sosok kepahlawanan seorang prajurit putri Jawa. Ketegasan, ketangkasan dan ketangguhan seorang prajurit tergambar dalam gerak yang dinamis.
e) Tari Beksan Gatotkaca vs Suteja
Asal : Yogyakarta.
Tema : Peperangan.
Latar belakang : Beksan Gatotkaca vs Suteja merupakan bagian dari sebuah sajian wayang wong gaya Yogyakarta dalam kisah Rebutan Kikis Tunggrana.
Isi : Dalam tarian ini, dikisahkan perjuangan dari Gatotkaca maupun Suteja dalam mempertahankan batas wilayah kekuasaannya yang berupa hutan, bernama Hutan Tunggrana. Akhirnya jalan penyelesaian yang terpaksa dipilih adalah melakukan perang tanding. Keduanya dikisahkan melakukan perang tanding dengan naik kendaraan berupa burung garuda.
Fungsi : Sebagai hiburan.
Keunikan:
Ø Gerak : Gerak-gerak penari membentuk sudut (tarian putra gagah). Perang yang terjadi berlangsung sengit sehingga lebih menarik perhatian orang yang melihatnya.
Ø Kostum : Pakainya tampil sederhana dengan memperlihat-kan kekekaran diri penari.
Ø Iringan : Iringannnya cepat dan tegas sehingga menimbulkan kesan gagah penarinya.

SUMBER: http://taritarian.wordpress.com/2012/11/20/macam-macam-tarian-di-jawa-tengah-jateng/

Tari Klasik Jawa Tengah

a) Tari Bedhaya
Tarian ini bertemakan percintaan. Tari Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB II, PB III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak diciptakan tarian Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.: 59-60). Dari sekian banyak gendhing Bedhaya hanya tinggal Gendhing yang masih dapat diketahui tarian diantaranya Bedhoyo Durudasih, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Tejanata. Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom, Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir Sawit dan Bedhaya Ketawang.
Banyak tari Bedhaya yang hilang atau tidak tergali, disebabkan adanya larangan dari pihak kraton Surakarta bahwa tari dan karawitan milik kraton tidak diperbolehkan untuk dipelajari secara privat atau ditulis (didiskripsikan). Bila menginginkan belajar harus di dalam kraton, di samping itu ada peraturan yang membatasi bahwa yang boleh belajar tari hanyalah wanita yang belum menikah. Dengan demikian dapat dimaklumi jika jarang penari dapat mendalami tarian dengan sungguh-sungguh (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: September 1997).
Diantara 11 bentuk tari Bedhaya yang dianggap paling tua adalah Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton Surakarta, disajikan hanya untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem di kraton. Bagi kraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu pusaka, sehingga jika disajikan sebagai pertunjukan diberlakukan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Namun demikian tidak berarti semua tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi masyarakat umum, maka diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya untuk sesuka atau untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan sindenannya kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata (G.R. Ay. Moertiyah, Wamancara: September 1997). Menurut Gusti Puger bahwa tari di samping sebagai hiburan juga sebagai ungkapan rasa syukur menyambut kelahiran seorang anak dan juga bisa digunakan untuk penyambutan tamu.
Keberadaan tari-tari di lingkungan kraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa kelompok abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pengageng Parentah Keputren, diantaranya adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi dalem Bedhaya memiliki tugas pokok sebagai penari Bedhaya, di sampik menari juga membantu segala pekerjaan yang ada di keputren termasuk menjaga keamanan, untuk itu kelompok abdi dalem Bedhaya juga dilatih beta diri.
Sekitar tahun 1970-an, pada masa PB XII, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari Bedhaya dipelajari oleh masyarakat di luar kraton, yang memanfaatkan kesempatan pertama kali Ketika itu adalah ASKI/PKJT sebagai salah satu lembaga pendidikan dan lembaga budaya yang berkedudukan di Sasana Mulyo Baluwarti. Mulai saat itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan berbaur latihan dengan penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton. Akhirnya hingga sekarang tari Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di luar tembok kraton. (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: Oktober 1997).
Gerak Tari : sembilan orang penari dengan menggunakan tata busana dan rias wajah serta tata rambut yang sama. Masing-masing penari membawakan peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu: Batak, Gulu, Dhadha, Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, Bancit. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa yang dinamakan Bedhaya yaitu rakitan penari sembilan orang yang diatur secara rytmische figures dan standen, masing-masing penari memiliki rol sendiri-sendiri, yaitu endel, gulu, dada, batak, buntil, dan empat orang pengapit. Tari Bedhaya memiliki rhytme berbeda sekali yaitu lebih halus dan tenteram dalam gerakannya.
Jenis Instrumen : Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang, gong
(gemelan laras pelog, tanpa keprak).

b) Tari Gambyong
Tari Gambyong merupakan suatu tarian yang disajikan untuk menyambut tamu atau mengawali suatu resepsi perkawinan. Ciri khas, selalu dibuka dengan gendhing Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si penari mampu menyelaraskan gerak dengan irama kendang dan gending.
Instrumen : gender, kendang, kenong, kempul, dan gong
Perkembangan : Awal mula istilah Gambyong tampaknya berawal dari nama seorang penari taledhek. Penari yang bernama Gambyong ini hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta. Penari ini juga disebutkan dalam buku “Cariyos Lelampahanipun” karya Suwargi R.Ng. Ronggowarsito (1803-1873) yang mengungkapkan adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemnahiran dalam menari dan kemerduan dalam suara sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.
 
Gerak tari:
Koreografi tari Gambyong sebagian besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan dan kepala. Gerak kepala dan tangan yang halus dan terkendali merupakan spesifikasi dalam tari Gambyong. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak tangan dengan memandang jari-jari tangan ,menjadikan faktor dominan gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Gerak kaki pada saat sikap beridiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis. Sebagai contoh, pada gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah-langkah kecil), nacah miring (kaki kiri bergerak ke samping, bergantian atau disusul kaki kanan diletakkan di depan kaki kiri, kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak kaki tetap merapat ke lanati). Gerak kaki yang spsifik pada tari Gambyong adalah gerak embat atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak bergerak ke bawah dan ke atas. Penggarapan pola lantai pada tari Gambyong dilakukan pada peralihan rangklaian gerak, yaitu pada saat transisi rangkaian gerak satu dengan rangkaian gerak berikutnya.
Sedangkan perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung, yaitu srisig, singket ukel karana, kengser, dan nacah miring. Selain itu dilakukan pada rangkaian gerak berjalan
(sekaran mlaku) ataupun gerak di tempat (sekaran mandheg).

c) Tari Bondan
Tari Bondan adalah tari yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. seorang anak wanita dengan menggendong boneka mainan dan payung terbuka, menari dengan hati-hati di atas kendi yang diinjak dan tidak boleh pecah. Tarian ini melambangkan seorang ibu yang menjaga anak-anaknya dengan hati-hati.
Tari ini dibagi menjadi 3, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Mardisiwi, dan Bondan Pegunungan/ Tani. Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi melambangkan seorang ibu yang menjaga anaknya yang baru lahir dengan hati-hati dan dengan rasa kasih sayang . Tapi Bondan Cindogo satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo.

Di tahun 1960an, Tari Bondan adalah tari unggulan atau tari wajib bagi perempuan-perempuan cantik untuk menunjukkan siapa jati dirinya. Hampir semua penari Tari Bondan adalah kembang kampung. Tari Bondan ini juga paling sulit ditarikan karena sambil menggendong boneka, si penari harus siap-siap naik di atas kendi yang berputar sambil memutar-mutarkan payung kertasnya. Penari Tari Bondan biasanya menampilkan Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi memakai kain Wiron, memakai Jamang, baju kutang, memakai sanggul, menggendong boneka, memanggul payung, dan membawa kendhi. Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang Ginonjing. Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing.
Ciri tarian :yaitu mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping dan membawa alat pertanian. Bentuk tariannya pertama melukiskan kehidupan petani kemudian pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis pegunungan dilepas satu demi satu dengan membelakangi penonton. Selanjutnya menari seperti gerak tari Bondan Cindogo atau Mardisiwi.

d) Tari Serimpi
Tarian Serimpi merupakan tarian bernuansa mistik yang berasal dari Yogyakarta. Tarian ini diiringi oleh gamelan Jawa.
Tarian ini dimainkan oleh empat orang penari wanita. Gerakan tangan yang lambat dan gemulai, merupakan ciri khas dari tarian Serimpi. Tarian srimpi sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Srimpi sangopati kata sangapati itu sendiri berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja. Tarian ini melambangkan bekal untuk kematian (dari arti Sangopati) diperuntukan kepada Belanda.

Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan : air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya Batak, Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir Mendhung. Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi masa kini diadakan inovasi. Contoh Srimpi hasil garapan baru :
~Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
~Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit

e) Tari Beksan Wireng
Beksan Wireng : berasal dari kata Wira (perwira) dan ‘Aeng’ yaitu prajurit yang unggul, yang ‘aeng’, yang ‘linuwih’. Tari ini diciptakan pada jaman pemerintahan Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra beliau tangkas dalam olah keprajuritan dengan menggunakan alat senjata perang. Sehingga tari ini menggambarkan ketangkasan dalam latihan perang dengan menggunakan alat perang.

Ciri-ciri tarian ini :
– Ditarikan oleh dua orang putra/i
– Bentuk tariannya sama
– Tidak mengambil suatu cerita
– Tidak menggunakan ontowacono (dialog)
– Bentuk pakaiannya sama
– Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan gending
sampak/srepeg, hanya iramanya/temponya kendho/kenceng
– Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang kemudian
diteruskan gendhing ketawang
– Tidak ada yang kalah/menang atau mati.


SUMBER: http://taritarian.wordpress.com/2012/11/20/macam-macam-tarian-di-jawa-tengah-jateng/

Senin, 11 November 2013

Cara Mencegah Bahaya Banjir

MENCEGAH BAHAYA BANJIR
 Tentu kita masih ingat musibah banjir besar yang melanda Jakarta di awal tahun ini. Dengan berlalunya banjir apakah berarti kita sudah aman dari banjir tahun depan? Seringkali kita terlupa dengan ancaman banjir di musim penghujan berikutnya.
Banjir sudah menjadi pemandangan biasa bahkan akrab dengan kehidupan kita. Begitu musim hujan, beberapa daerah baik di ibukota maupun kota lain kerap menjadi langganan banjir. Sebenarnya, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah musibah banjir ini?
Pencegahan banjir harus dilakukan sejak saat ini. Tentu saja hal pertama yang bisa kita lakukan sekarang adalah tidak membuang sampah sembarangan. Hal tersebut sudah didengung-dengungkan sejak kita kecil. Namun, pada kenyataannya sangat sulit sekali untuk dijadikan kebiasaan. Hal lain yang perlu dilakukan adalah membersihkan saluran air agar tidak mampet, dan menjaga kebersihan kali atau sungai.
Menanam pohon dan memelihara penghijauan lingkungan juga dapat mengurangi risiko banjir. Tanamilah pekarangan dengan pohon-pohon dan tanaman. Usahakan untuk tidak membeton halaman secara keseluruhan. Pilihan untuk menggunakan conblok dapat dipertimbangkan karena conblok dapat menyerap air. Usahakan untuk menyisakan area untuk ditanami rumput agar bisa menyerap air.
Cara berikutnya adalah dengan membuat lubang resapan biopori. Lubang resapan ini bisa kita buat sendiri di pekarangan rumah. Lubang resapan biopori berguna untuk mencegah banjir asalkan dibuat secara masal di sebuah daerah. Dengan membuat lubang biopori, timbulnya genangan air dapat dihindari, dapat digunakan untuk menyimpan cadangan air, untuk memanfaatkan sampah organik dan sebagai penghijauan.
Lubang resapan biopori adalah lubang vertikal yang sengaja dibuat untuk memicu aktivitas organisme. Aktivitas organisme inilah yang kelak akan membuat lubang-lubang biopori. Lubang resapan biopori berbentuk silinder berdiameter 10-20 cm dengan kedalaman sekitar 100 cm. Lubang resapan biopori yang sudah jadi kemudian diisi dengan sampah organik. Organisme kemudian mengurai sampah tersebut dan membentuk lubang-lubang biopori.
Cara sederhana tersebut di atas bisa kita lakukan sehari-hari dan dimulai dari rumah kita sendiri. Dengan meningkatnya kesadaran dan keinginan untuk menjaga lingkungan akan mencegah kita dari bencana banjir. Tentunya dimulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang.

SUMBER: http://kabarinews.com/mencegah-bencana-banjir/53632